Tuesday, April 22, 2014

The Land at the Top Right to Use Only

Status tanah di kawasan lindung dan resapan air di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, itu hanya Hak Pakai (HP). BPN Kabupaten Bogor memastikan tidak akan pernah menerbitkan sertifikat tanah di kawasan puncak, terutama untuk wilayah Kecamatan Cisarua dan Megamendung.

"Kami hanya bisa mengeluarkan sertifikat Hak Pakai untuk lahan pertanian dan perkebunan, yang jangka waktu pakainya hanya 10 tahun, dan lahan tersebut tidak boleh digunakan untuk nonpertanian," kata Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN Kabupaten Bogor, Wijoyo Budi Karyo dalam seminar Peringatan Hari Bumi yang digelar Konsorsium Peduli Puncak, Selasa (22/4).

Wijoyo Budi Karyo menjelaskan, dalam kebijakan penataan Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, berdasarkan Keppres 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor Puncak-Cianjur (Bopuncur) sebagai daerah konservasi dan resapan air tanah.

Saat ditanya banyaknya lahan Hak Guna Pakai yang berubah fungsi menjadi pemukiman, tempat usaha bahkan vila, menurut Wijoyo hai itu disebabkan lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah.

"Seharusnya pemerintah daerah yang berwenang mengecek status tanah sebelum mengeluarkan IMB," katanya.

Banyak makelar

Sementara itu, Kepala Unit Administatur PTPN VIII Gunung Mas, Tri Hermawan mengatakan, dari 1.623 hektare lahan milik perkebunannya tersebut ada sekitar 352,67 hektare lahan yang diserobot warga dan pengusaha dan saat ini dalam kondisi sengketa.

"Ada sekitar 113 bangunan liar yang berdiri di lahan kami. Untuk itu kami meminta kepada pemerintah Kabupaten Bogor agar bangunan tersebut dibongkar karena ilegal dan berdiri di lahan milik negara," katanya.

Dia mengatakan, berdasarkan hasil investigasi di lapangan dan keterangan dari beberapa pemilik lahan dan vila ilegal yang berdiri di atas tanah milik PTPN VIII Gunung Mas, mereka rata-rata tidak mengetahui jika status tanah tersebut masih masuk dalam sertifikat HGU perkebunan.

"Di sini bariyak biyong (makelar) tanah yang bermain, karena para pemilik vila tersebut membeli tanah dari perantara dangan alasan status tanah merupakan eks atau bekas lahan perkebunan dan yang sertifikatnya dapat diurus menjadi HGU bahkan sertifikat hak milik," katanya.

Di tempat yang sama, Peneliti dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustandi, mengatakan, untuk menata dan membenahi kawasan puncak, tidak hanya cukup dengan membongkar bangunan dan vila liar, tapi juga harus mengusut semua oknum yang melakukan jual beli tanah milik negara.
( Read: video burung pleci )

"Siapa yang bermain, menjual tanah ini harus ikut diusut," kata Ernan.

source:http://www.kompas.com/

No comments:

Post a Comment